Senin, 09 November 2015

mita husnurrosyidah




ANALISIS PENERAPAN PARADIGMA PERUBAHAN HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG PILKADA
Mita Husnurrosyidah
1711143052 / HES III C

 Perubahan sosial dan sektor hukum merupakan dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi lain. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Untuk menganalisa dampak yang ditimbulkan sekurang- kurangnya terdapat dua paradigma atau cara pandang secara ilmiah.
Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah:
1.    Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat.
Dimana apabila pada masyatakat dulu sesuatu yang dianggap buruk yang merupakan hal yang ditolak, kemudian karena ada perubahan nilai dalam masyarakat tersebut yang kemudian hal tersebut dianggap hal yang biasa dan merubah perilaku dalam masyarakat dan menimbulan tuntutan legalitas terhadap perubahan tersebut.
Ciri- ciri dari paradigma ini adalah:
a.       Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b.      Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c.       Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
d.      Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e.       Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti di tempatnya adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.
Paradigma pertama ini kita sebut sebagai Paradigma Hukum Penyesuai Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat.Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus terpelihara.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau sering disebut Pilkada, merupakan perkara wajib yang harus dilaksanakan setelah periode untuk menjabat habis sebagaimana dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada sendiri adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelum dilangsungkannya Pilkada tersebut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat yang ditentukan pada Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004. 
 Setelah diundangkannya UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan diderivasi berbagai penjelasan teknisnya oleh PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme polirik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang makin menunjukan orientasi yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada diatas berbaai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni.
Aktor utama sistem pilkada adalah rakyat, partai politik, dan calon kepala daerah. Ketiga aktor inilah yang terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung , yaitu :
1)      Pendaftaran pemilih,
2)      Pendaftaran calon,
3)      Penetapan calon,
4)      Kampanye,
5)      Pemungutan dan penghitungan suara, dan
6)      Penetapan calon terpilih.
            Karena pilkada merupakan implementasi dari demokrasi, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azas-azas pilkada langsung yang terdiri dari : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
            Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan penyelenggaraan pada mereka. Catatan pilkada selama ini menunjukan , penyelenggaraan pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan biasa demokrasi, seperti persekongkolan, nepotisme, dan politik uang. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
            Pemerintah dan DPR sepakat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada Desember 2015 mendatang. Kesepakatan itu tercipta setelah pihak penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyanggupinya. KPU menyampaikan bahwa 827 pasang calon kepala daerah telah mendaftar: 20 pasangan calon gubernur/wakil gubernur, 691 pasangan calon bupati/wakil bupati, dan 116 pasangan calon wali kota/ wakil wali kota. Di antara mereka ada 28 pasangan dari jalur perseorangan yang maju bermodalkan bundel-bundel kartu tanda penduduk calon pemilih.
            Dalam UU No.32 tahun 2004, tentang pemerintah daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan  UU No.32 tahun 2004, yakni UU No.12 tahun 2008, pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada secara lansung adalah untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan slah satu bukti telah berjalannya progam desentralisasi. Daerah telah memiliki otonom untuk mengatur dirinya sendiri, bahkan sampai ketaraf otonom individu.
            Dalam pemelihan kepala daerah yang dilakukan secara serentak ini terdapat dua perubahan undang-undang pilkada. Pemerintah telah mengesahkan dua undang-undang terkait pelaksanaan pilkada serentak tersebut. Dua undang-undang (UU) itu yakni UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
            Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan; “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan setiap 5  tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
            "Pemilihan diselenggarakan melalui dua tahapan, yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan," demikian bunyi Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 8.
Tahapan persiapan meliputi:
1)      Perencanaan program dan anggaran.
2)      Penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan.
3)      Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan
4)      Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS, pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.
5)      Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.
6)      Penyerahan daftar penduduk potensial pemilih.
7)      Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

KASUS
Dari ayat tersebut sudah jelas di ketahui bahwa seluruh daerah pilkada secara serentak ini menggunakan paradigma hukum sebagai alat untuk melayani kebutuhan sedangkan Pilkada serentak yang diwarnai adanya calon tungga ini termasuk pardigma hukum sebagai alat untuk rekayasa sosial. Hal ini menghabiskan banyak biaya.
ANALISIS
            Menurut saya paradigm kedua  hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat. Yang sebelumnya pemerintah belum melaksanakan pemilihan secara serentak namun dengan adanya pasal tersebut maka masyarakat wajib melakukan pemilihan umum secara serentak

DAFTAR PUSTAKA                                                                                
Ni’mah, Zulfatun.2012. Sosiologi Hukum Sebuah pengantar. Cet ke 1. Yogyakarta: Teras.

Rabu, 16 September 2015

MITA HUSNURROSYIDAH
HES III C
1711143052


 MAIN HAKIM SENDIRI


 
Istilah main hakim sendiri sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi sebagian orang untuk membuat para pelaku kejahatan yang lain takut ataupun berhenti melakukan tindakan kriminal. Banyak sekali dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku seperti itu, baik dampak positif maupun dampak negatifnya. Salah satu dampak positifnya adalah membuat sipelaku ataupun orang lain yang memiliki niatan untuk berlaku kriminal menjadi kapok dan takut. Sedang dampak negatifnya berimbas pada sipelaku baik secara fisik maupun materi, karena perilaku main hakim sendiri selalu dilakukan dengan tindakan kekerasan ataupun penyiksaan terhadap sipelaku kejahatan bahkan sampai menyebabkan kematian.

Masalah kejahatan bukanlah merupakan baru di masa sekarang salah satu penyimpangan atau perbuatan melawan hukum, dan norma adalah kejahatan karena kejahatan sering dikatakan sebagai penyakit sosial. Salah satu bentuk penyimpangan ataupun kejahatan yang terjadi di kunir pada tanggal 12 agustus 2014. peristiwa ini terjadi karena kesalah pahaman antara semua pihak, awal dari kejadian ini bermula ketika ada segrumbulan remaja yang sedang latihan baris berbaris untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesi. pada sat itu segrumbulan remaja sedang istirahat di pinggir jalan raya, etah kenapa ada ssalah seorang yang bersendau gurau melewati batas sehingga dia sampai tidak mengetahui bahwa ada seorang pengendara motor yang akan melintas. karena ia terlalu asik bermain dengan temannya dia pun tersrempet motor dan terjatuh. seketika ia terjatuh temen temanya sudah bergerumbul melihat keadan temannya itu, seorang yang naik motor itu berhenti dan hendak melihat seorang yang ia tabrak tadi , belum sempat melihat si korban dan belum sempat memastikan bagaimana keadaan korban tapi dari pihak teman teman korban sudah emosi dan mengkroyok pengendara motor itu, akhirnya si pemotor itu di kroyok dan babak belur.

 Ada empat faktor yang menyebabkan publik ingin main hakim sendiri yaitu rendahnya kepercayaan publik terhadap aparat hukum akan bertindak adil, proses hukum mudah diintervensi, banyak politisi yang terjerat kasus korupsi dan pembiaran penegakan hukum.Ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum, tidak adanya kepastian hukum, proses hukum yang panjang, berbelit, mahal dan melelahkan mengakibatkan mereka mengambil langkah hukum sendiri, seperti aksi diatas. Proses hukum yang diberlakukan maupun hukuman yang diberikan kepada tindak pelaku kejahatan, telah dirasakan tidak memberikan keadilan bagi masyarakat, sehingga masyarakat lebih memilih untuk menghakimi sendiri. Meskipun tindakan main hakim sendiri juga tidak bisa dibenarkan sebagai solusi.
           Emile Durkheim adalah ilmuan yang berasal dar Prancis. Beliau terkenal sebagai sosiologi yang brilian dan memiliki latar akademis dalam ilmu sosiologis. Durkheim memiliki pemikiran tentang solidaritas dan hukum. Durkheim memiliki perhatian besar pada kaidah-kaidah hukum yang dihubungakan dengan jenis solidaritas yang dijumpai pada masyarakat. Jenis solidaritas tersebut adalah solidaritas mekanis dan solidaritas organis.  
  
           Pada kasus yang ada pada diatas jika dikaitkan dengan teori Emile Dhurkeim termasuk denganjenis solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis adalah solidaritas yang terdapat pada masyarakat paguyuban yaitu masyarakat yang sering bertemu atau sudah akrab satu sama lain yang bersifat hukum merusak atau unsur balas dendam