ANALISIS PENERAPAN PARADIGMA PERUBAHAN HUKUM TENTANG
UNDANG-UNDANG PILKADA
Mita Husnurrosyidah
1711143052 / HES III C
Perubahan sosial dan sektor hukum merupakan
dua hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kedua hal tersebut
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Interaksi perubahan sosial di
satu sisi dan perubahan hukum di sisi lain. Interaksi tersebut membawa
konsekuensi ilmiah karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Untuk
menganalisa dampak yang ditimbulkan sekurang- kurangnya terdapat dua paradigma
atau cara pandang secara ilmiah.
Adapun paradigma yang berkembang
dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan
hukum adalah:
1. Hukum melayani kebutuhan masyarakat,
agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya
perkembangan masyarakat.
Dimana apabila pada masyatakat dulu sesuatu yang dianggap
buruk yang merupakan hal yang ditolak, kemudian karena ada perubahan nilai
dalam masyarakat tersebut yang kemudian hal tersebut dianggap hal yang biasa
dan merubah perilaku dalam masyarakat dan menimbulan tuntutan legalitas
terhadap perubahan tersebut.
Ciri-
ciri dari paradigma ini adalah:
a. Perubahan yang
cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b. Ketertinggalan hukum di belakang
perubahan sosial.
c. Penyesuaian yang cepat dari hukum
kepada keadaan baru.
d. Hukum sebagai fungsi
pengabdian.
e. Hukum berkembang
mengikuti kejadian berarti di tempatnya adalah di belakang peristiwa bukan
mendahuluinya.
Paradigma pertama ini kita sebut
sebagai Paradigma Hukum Penyesuai Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam
hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan
perundang-undangan yang baru misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma
ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu
pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang
maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang
membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan
secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk
dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat.Tetapi kebutuhan
masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan,
kepastian hukum dapat terus terpelihara.
Pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah, atau sering disebut Pilkada, merupakan perkara wajib yang
harus dilaksanakan setelah periode untuk menjabat habis sebagaimana dalam UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada sendiri adalah pemilihan
umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di
Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelum
dilangsungkannya Pilkada tersebut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah warga Negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat yang
ditentukan pada Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004.
Setelah diundangkannya UU no 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah dan diderivasi berbagai penjelasan teknisnya oleh
PP no 6 tahun 2005 tentang pemilihan, Pengesahaan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka dimulailah babak baru
dalam rentang sejarah dinamika lokalisme polirik di Indonesia. Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang makin
menunjukan orientasi yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan rakyat
berada diatas berbaai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau
mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni.
Aktor utama sistem pilkada adalah
rakyat, partai politik, dan calon kepala daerah. Ketiga aktor inilah yang
terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian
tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung , yaitu :
1)
Pendaftaran pemilih,
2)
Pendaftaran calon,
3)
Penetapan calon,
4)
Kampanye,
5)
Pemungutan dan penghitungan suara,
dan
6)
Penetapan calon terpilih.
Karena
pilkada merupakan implementasi dari demokrasi, maka nilai-nilai demokrasi
menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai
tersebut diwujudkan melalui azas-azas pilkada langsung yang terdiri dari :
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Partai-partai politik mempunyai
kepentingan besar untuk menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin
menyerahkan penyelenggaraan pada mereka. Catatan pilkada selama ini menunjukan
, penyelenggaraan pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan biasa
demokrasi, seperti persekongkolan, nepotisme, dan politik uang. Oleh karena
itu, kegiatan-kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur
secara ketat untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai
keterbukaan, keadilan dan kejujuran.
Pemerintah
dan DPR sepakat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan
digelar pada Desember 2015 mendatang. Kesepakatan itu tercipta setelah pihak
penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyanggupinya. KPU
menyampaikan bahwa 827 pasang calon kepala daerah telah mendaftar: 20 pasangan
calon gubernur/wakil gubernur, 691 pasangan calon bupati/wakil bupati, dan 116
pasangan calon wali kota/ wakil wali kota. Di antara mereka ada 28 pasangan
dari jalur perseorangan yang maju bermodalkan bundel-bundel kartu tanda
penduduk calon pemilih.
Dalam
UU No.32 tahun 2004, tentang pemerintah daerah, diatur mengenai pemilihan
kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 tahun 2004, yakni UU No.12 tahun
2008, pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon
perseorangan. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada secara lansung
adalah untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat
langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan slah satu bukti
telah berjalannya progam desentralisasi. Daerah telah memiliki otonom untuk
mengatur dirinya sendiri, bahkan sampai ketaraf otonom individu.
Dalam
pemelihan kepala daerah yang dilakukan secara serentak ini terdapat dua
perubahan undang-undang pilkada. Pemerintah telah mengesahkan dua undang-undang
terkait pelaksanaan pilkada serentak tersebut. Dua undang-undang (UU) itu yakni
UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan; “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota dilaksanakan setiap 5 tahun
sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
"Pemilihan
diselenggarakan melalui dua tahapan, yaitu tahapan persiapan dan tahapan
penyelenggaraan," demikian bunyi Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 8.
Tahapan persiapan meliputi:
1)
Perencanaan program dan anggaran.
2)
Penyusunan peraturan penyelenggaraan
pemilihan.
3)
Perencanaan penyelenggaraan yang
meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan
4)
Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS,
pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.
5)
Pemberitahuan dan pendaftaran
pemantau pemilihan.
6)
Penyerahan daftar penduduk potensial
pemilih.
7)
Pemutakhiran dan penyusunan daftar
pemilih.
KASUS
Dari ayat tersebut
sudah jelas di ketahui bahwa seluruh daerah pilkada secara serentak ini menggunakan paradigma hukum
sebagai alat untuk melayani kebutuhan sedangkan Pilkada serentak yang diwarnai
adanya calon tungga ini termasuk pardigma hukum sebagai alat untuk rekayasa
sosial. Hal ini menghabiskan banyak biaya.
ANALISIS
Menurut saya paradigm kedua hukum dapat menciptakan perubahan dalam
masyarakat. Yang sebelumnya pemerintah belum melaksanakan pemilihan secara
serentak namun dengan adanya pasal tersebut maka masyarakat wajib melakukan
pemilihan umum secara serentak
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah,
Zulfatun.2012. Sosiologi Hukum Sebuah pengantar. Cet ke 1. Yogyakarta: Teras.